Penulis :
Fahd Djibran
Penerbit :
Kurniaesa Publishing
Terbit :
Cetakan pertama – Juni 2011
Ketabalan
Buku : 183 Halaman
ISBN : 978-602-99349-0-8
Percayalah,
kadang-kadang menjadi galau itu perlu! Seperti menemukan bak mandi yang kotor
dan dipenuhi lumut, kemudian kita merasa tidak nyaman dan ingin
membersihkannya—menjernihkannya. Bedanya, saat galau, yang keruh dan perlu
dibersihkan adalah kolam hati dan kolam pikiran kita. Itulah yang membuat kita
tidak nyaman, gelisah, khawatir, bahkan putus asa. Dalam situasi-situasi
seperti itu, mungkin kita perlu saat-saat sendiri: Melihat ke dalam diri,
berbicara dengan diri sendiri
Buku ini dipersembahkan untuk teman-teman yang “galau” dan ingin berbicara pada
diri sendiri—secara lebih bebas dan lebih jujur. Tak ada yang lebih kita
butuhkan saat berbicara pada diri sendiri selain menjadi jujur dan apa adanya.
Sebab, kegalauan lebih sering diakibatkan oleh sikap tidak jujur dan manipulatif,
pada diri sendiri atau orang lain. Lepaskanlah topeng-topeng, lepaskan
prasangka-prasangka buruk, lepaskan kesombongan, rasa benci, dendam, dan iri
hati; Sebaliknya, sayangi segenap diri kita, penuhilah ruang kesadaran kita
dengan cinta!
Buku ini merangkum sejumlah tema yang barangkali selama ini membuat kita galau: Hidup, cinta, iman, dosa, setan, dan Tuhan. Teman-tema itulah, yang dengan berbagai turunannya, diakui atau tidak, selalu menjadi sentral pemikiran dan perenungan keseharian kita. Pada tema-tema itu kita seringkali dihadapkan pada dilema, semacam situasi tarik-menarik antara dua kutub-diri yang saling bertentangan. Siatuasi itulah yang sering saya sebut sebagai pertem(p)u(r)an, pertemuan di satu sisi pertempuran di sisi lain.
Buku ini merangkum sejumlah tema yang barangkali selama ini membuat kita galau: Hidup, cinta, iman, dosa, setan, dan Tuhan. Teman-tema itulah, yang dengan berbagai turunannya, diakui atau tidak, selalu menjadi sentral pemikiran dan perenungan keseharian kita. Pada tema-tema itu kita seringkali dihadapkan pada dilema, semacam situasi tarik-menarik antara dua kutub-diri yang saling bertentangan. Siatuasi itulah yang sering saya sebut sebagai pertem(p)u(r)an, pertemuan di satu sisi pertempuran di sisi lain.
Lagi-lagi, seperti pernah terjadi pada A Cat in My Eyes (2008) dan Curhat Setan (2009), saya tak tahu harus menyebut buku semacam ini sebagai apa. Sejujurnya, saat menuliskannya, saya sama sekali tak memikirkan genre-nya; Entah kumpulan cerita, novel, atau apa? Saya lebih memilih berfokus pada efek pikiran dan perasaan yang akan diterima pembacanya. Seolah-olah saya ingin menghamburkan sejumlah puzzle-pikiran-dan-perasaan untuk sama-sama kita susun menjadi sebuah gambaran yang utuh. Sebab, saya percaya hidup kita juga tidak seperti kisah sinetron, novel, atau film layar lebar yang bergerak dari A ke Z. Bagi saya, hidup bagaikan puzzle yang kita temukan berserakan dan harus kita susun sendiri untuk menemukan maknanya
Zusammenhang des Lebens, cerita adalah pengorganisasian hidup, kata Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filsuf Jerman. Hidup yang tersusun dalam cerita adalah bios, yang berbeda dengan sekadar hidup biologis saja, atau zoe. Filsuf lain dari abad ke-20, Hannah Arendt (1906-1975) pernah berkata, “Karakteristik utama kehidupan khas manusia ialah selalu penuh dengan peristiwa-peristiwa acak yang pada akhirnya bisa diungkapkan sebagai cerita.”
Ya, itulah sebabnya saya menuliskan buku ini sebagai “racau”. Anggap saja begitu. Racau tak butuh aturan. Tak butuh alur atau penokohan. Tak perlu dibaca secara berurutan. Tak butuh keutuhan. Sebab racau, dengan suaranya yang sumbang dan kadang-kadang lepas dari konteks, dengan sudut pandang yang juga seringkali kabur, hanya ingin berbicara secara jujur dan apa adanya.
Oh ya, saya juga menuliskan buku ini lengkap dengan sejumlah lirik lagu yang bersesuaian dengan tema yang sedang dibicarakan. Seperti kisah hidup kita yang entah bagaimana bisa menemukan soundtrack-nya sendiri. Ketika menuliskannya, saya tak bisa lepas dari Youtube. Untuk itu, dengarkanlah lagu-lagunya saat sedang, sebelum atau setelah membaca setiap “racauan” dalam buku ini. Kalau hapal beberapa lagunya, jangan ragu untuk menyanyikannya. :)
Sebagai sebuah kesatuan yang utuh, buku ini juga memiliki dua buah soundtrack. Kedua lagu tersebut diciptakan dan dinyanyikan BFDF, sebuah grup band beraliran punk dari Bandung, beranggotakan Bassit (bass), Futih (guitar/vocal), Dzikri (guitar), dan Fahri (drum). Saya sudah berkolaborasi dengan BFDF sejak buku Curhat Setan, waktu itu BFDF membuatkan sebuah lagu khusus berjudul sama dengan buku saya,
Kalau
didengarkan, dua lagu BFDF untuk buku ini benar-benar mengentak dengan balutan
musik punk yang kuat dan cepat. Namun, seperti biasa, BFDF selalu
menyampaikan pesan-pesan moral-spiritual yang kuat dan dalam di setiap lagu
mereka. Ya, tak tertolak, bagi saya BFDF selalu berhasil mengentak kesadaran
kita yang sering kacau-galau! (Ini bukan salah ketik. Memang kacau-galau
dan bukan kacau balau
Inilah
alasan saya untuk selalu tertarik berkolaborasi dengan BFDF: Mereka selalu
berhasil menunjukkan ekspresi spiritualitas yang "sangat anak muda"!
Cobalah dengarkan lagu-lagunya dan resapi lirik-liriknya. Cerdas sekaligus
filosofis. Saya selalu jatuh cinta pada setiap rangkaian lirik yang mereka
ciptakan, juga larut dalam hentakan musik yang mereka bawakan. Singkatnya,
sedikit atau banyak, BFDF dan saya memiliki visi dan semangat yang sama tentang
anak muda dan spiritualitas. :)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar