“aku pernah merasa menjadi manusia
paling dikhianati di dunia, atau paling bersalah, atau paling bermasalah, atau
tak beruntung hidupnya. Aku pernah berjalan sendirian dipinggir jalanan kota,
pada senja penghabisan, sementara bus dan mobil-mobil berjalan seperti
manusia-manusia lainnya yang tak perhatian. Aku merasa tak punya teman untuk
sekedar mendengarkan apa yang kurasakan.” Katamu pilu.
Ada
perasaan sedih yang tak bisa kujelaskan, seperti kabel-kabel listrik yang
menggantung di langit senja sebuah kota, atau spanduk dan papan-papan reklame:
bagaimana caranya mengurai kompleksitas menjadi sesuatu yang sederhana dan
nyata? Kemana sesungguhnya manusia harus berjalan untuk menemukan kebahagiaan? Sementara
mal dan pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, juga restoran, yang selalu
tampak ramah mengajak kita berkunjung ke sana. Tak pernah benar-benar jujur
menerima diri kita apa adanya.
“kita semua memiliki hal-hal yang
bisa kita tangani lebih baik daripada orang lain melakukannya. Sayangnya kadang-kadang
kita kehilangan kemampuan terbaik itu, justru disaat-saat ketika kita
benar-benar membutuhkannya. Kadang-kadang ruang yang kita miliki sangat
terbatas untuk memperbolehkan orang lain berada disana. Kadang-kadang kita
hanya ingin sendirian. Sampai kita berjalan di lorong stasiun, atau berdiri di escalator
pusat perbelanjaan, melihat kemurungan, rasa sedih, kekhawatiran yang sama di
wajah banyak orang. Ternyata kita semua punya masalah.” katamu,
ragu-ragu.
Aku
mengerti. Aku pernah berdiri diatas sepatu yang kau kenakan. Tapi kemana kita
harus pergi? Menuju kehidupan yang mana kita harus pergi? Benarkah kita harus
pergi? Orang-orang yang kita sangka berbahagia, ternyata menyimpan kesedihan
dan penderitaan yang lebih dalam dari yang bisa kita bayangkan.
“kadang-kadang aku kangen rumah. Tak
ada satupun rumah yang tak memiliki masalah. Tetapi dirumah, semua masalah
selalu terasa lebih mudah. Jika kau bertanya kenapa? Aku tak bisa
menjelaskannya.” katamu, masih ragu-ragu.
Kemudian
aku ingat rumah:
Oohhh,
aku merindukan kenyamanan dan ketidaknyamanan sebuah rumah. Aku merindukan asap
nasi goring yang mengepul dari dapur, juga suara batuk ibu terhirup dan
terdengar hingga ruang tamu..
Oohhh,
aku merindukan bau meja makan rumah yang
tak pernah kutemukan dimana-mana. Ibu dan ayah pernah bertengkat, tetapi mereka
tetap berusaha menjadi orang tua yang baik. Utang-utang ayah, tagihan listrik
yang naik, pacar baru kakak yang selingkuh dengan sahabatnya, adik yang cedera
seusai pertandingan sepakbola
Oohh,
mungkin aku harus pulang, dalam pengertian sesungguhnya.
“kenapa aku menangis? Kenapa kamu
menangis? Sebagian dari kita percaya bahwa kita bisa membuat perbedaaan, kita
bisa mengubah sesuatu, hingga saatnya kita benar-benar terbangun dan menyadari
bahwa kita telah gagal.” Katamu, sedih.
Ahh,
mengapa kita selalu membuat diri kita merasa bersalah? Mengapa kita cenderung
memilih menjadi pemurung? Mengapa kita tak pernah mengucapkan terima kasih pada
diri kita sendiri atas hal-hal baik, juga hal-hal buruk, yang sudah kita
lakukan sejauh ini? terima kasih telah selalu bertahan dan telah selalu
memutuskan untuk kembali berjalan. Yakinlah kita telah akan selalu baik-baik
saja.
“terima kasih,”
katamu tiba-tiba pada diri sendiri. “untuk hal-hal yang terkatakan dan tak
terkatakan
Lalu
aku mengirim SMS untuk nomor teleponku sendiri:
Terima kasih, hanya kamu yang bisa
menerimaku apa adanya. Dan hanya dengan membuatmu bahagia, maka akupun akan
berbahagia.
Selamat Tinggal, kemurungan!
(Baik-Baik
Saja)
Fahd
Djibran – Perjalanan Rasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar