Jumat, 02 Agustus 2013

Baik-Baik Saja


“aku pernah merasa menjadi manusia paling dikhianati di dunia, atau paling bersalah, atau paling bermasalah, atau tak beruntung hidupnya. Aku pernah berjalan sendirian dipinggir jalanan kota, pada senja penghabisan, sementara bus dan mobil-mobil berjalan seperti manusia-manusia lainnya yang tak perhatian. Aku merasa tak punya teman untuk sekedar mendengarkan apa yang kurasakan.” Katamu pilu.

Ada perasaan sedih yang tak bisa kujelaskan, seperti kabel-kabel listrik yang menggantung di langit senja sebuah kota, atau spanduk dan papan-papan reklame: bagaimana caranya mengurai kompleksitas menjadi sesuatu yang sederhana dan nyata? Kemana sesungguhnya manusia harus berjalan untuk menemukan kebahagiaan? Sementara mal dan pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, juga restoran, yang selalu tampak ramah mengajak kita berkunjung ke sana. Tak pernah benar-benar jujur menerima diri kita apa adanya.

“kita semua memiliki hal-hal yang bisa kita tangani lebih baik daripada orang lain melakukannya. Sayangnya kadang-kadang kita kehilangan kemampuan terbaik itu, justru disaat-saat ketika kita benar-benar membutuhkannya. Kadang-kadang ruang yang kita miliki sangat terbatas untuk memperbolehkan orang lain berada disana. Kadang-kadang kita hanya ingin sendirian. Sampai kita berjalan di lorong stasiun, atau berdiri di escalator pusat perbelanjaan, melihat kemurungan, rasa sedih, kekhawatiran yang sama di wajah banyak orang. Ternyata kita semua punya masalah.” katamu, ragu-ragu.

Aku mengerti. Aku pernah berdiri diatas sepatu yang kau kenakan. Tapi kemana kita harus pergi? Menuju kehidupan yang mana kita harus pergi? Benarkah kita harus pergi? Orang-orang yang kita sangka berbahagia, ternyata menyimpan kesedihan dan penderitaan yang lebih dalam dari yang bisa kita bayangkan.

“kadang-kadang aku kangen rumah. Tak ada satupun rumah yang tak memiliki masalah. Tetapi dirumah, semua masalah selalu terasa lebih mudah. Jika kau bertanya kenapa? Aku tak bisa menjelaskannya.” katamu, masih ragu-ragu.

Kemudian aku ingat rumah:
Oohhh, aku merindukan kenyamanan dan ketidaknyamanan sebuah rumah. Aku merindukan asap nasi goring yang mengepul dari dapur, juga suara batuk ibu terhirup dan terdengar hingga ruang tamu..
Oohhh,  aku merindukan bau meja makan rumah yang tak pernah kutemukan dimana-mana. Ibu dan ayah pernah bertengkat, tetapi mereka tetap berusaha menjadi orang tua yang baik. Utang-utang ayah, tagihan listrik yang naik, pacar baru kakak yang selingkuh dengan sahabatnya, adik yang cedera seusai pertandingan sepakbola
Oohh, mungkin aku harus pulang, dalam pengertian sesungguhnya.

“kenapa aku menangis? Kenapa kamu menangis? Sebagian dari kita percaya bahwa kita bisa membuat perbedaaan, kita bisa mengubah sesuatu, hingga saatnya kita benar-benar terbangun dan menyadari bahwa kita telah gagal.” Katamu, sedih.

Ahh, mengapa kita selalu membuat diri kita merasa bersalah? Mengapa kita cenderung memilih menjadi pemurung? Mengapa kita tak pernah mengucapkan terima kasih pada diri kita sendiri atas hal-hal baik, juga hal-hal buruk, yang sudah kita lakukan sejauh ini? terima kasih telah selalu bertahan dan telah selalu memutuskan untuk kembali berjalan. Yakinlah kita telah akan selalu baik-baik saja.

“terima kasih,” katamu tiba-tiba pada diri sendiri. “untuk hal-hal yang terkatakan dan tak terkatakan

Lalu aku mengirim SMS untuk nomor teleponku sendiri:
Terima kasih, hanya kamu yang bisa menerimaku apa adanya. Dan hanya dengan membuatmu bahagia, maka akupun akan berbahagia.

Selamat Tinggal, kemurungan!

(Baik-Baik Saja)
Fahd Djibran – Perjalanan Rasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar